Selasa, 19 September 2017

Mengetahui Kebutuhan Gizi Bagi Ikan

Media Penyuluhan Perikanan - Seperti halnya hewan lain, ikan pun membutuhkan zat gizi tertentu untuk hidupnya yaitu untuk menghasilkan tenaga, menggantikan sel-sel yang rusak dan untuk tumbuh. Zat gizi yang dibutuhkan adalah protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air.

a. Protein
Protein sangat diperlukan oleh tubuh ikan/udang, baik untuk pertumbuhan maupun untuk menghasilkan tenaga. Protein nabati (asal dari tumbuhan), lebih sulit dicernakan dari pada protein hewani (asal dari hewan), hal ini disebabkan karena protein nabati terbungkus dalam dinding selulosa yang memang sukar dicerna.
Pada umumnya ikan membutuhkan protein lebih banyak daripada hewan ternak di darat (unggas, dan mamalia). Selain itu, jenis dan umur ikan juga berpengaruh pada kebutuhan protein. Ikan carnívora membutuhkan protein lebih banyak daripada ikan herbivora, sedangkan ikan omnivora berada diantara keduanya. Pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 20 – 60%, dan optimum 30 -36%,.

b. Lemak.
Nilai gizi lemak dipengaruhi oleh kandungan asam lemak esensiilnya yaitu asam-asam lemak tak jenmuh atau PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) antara lain asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat. Asam lemak esensiil ini banyak terdapat di tepung kepala udang, cumi-cumi dll. Kandungan lemak angat dipengaruhi oleh factor usuran ikan, kondisi lingkungan dan adanya sumber tenaga lain. Kebutuhan ikan akan lemak bervariasi antara 4 – 18%.

c. Karbohidrat
Karbohidrat atau hidrat arang atau zat pati, berasal dari bahan baku nabati. Kadar karbohidrat dalam pakan ikan, dapat berkisar antara 10 – 50%. Kemampuan ikan untuk memanfaatkan karbohidrat ini tergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan enzim pemecah karbohidrat (amilose) ikan karnivora biasanya membutuhkan karbohidrat sekitar 12 % sedangkan untuk omnivore kadar karbohidratnya dapat mencapai 50%.

d. Vitamin.
Apabila ikan kekurangan vitamin, maka gejalanya hádala nafsu makan hilang, kecepatan tumbuh bekurang, warna abnormal, keseimbangan hilang, gelisah,  mudah terserang bakteri, pertumbuhan sirip kurang sempurna, pembentukqn lendir terganggu dll.  Kebutuhan akan vitamin Sangay dipengaruhi usuran ikan, umur, kondisi lingkungan dan suhu air.
Kebutuhan Gizi Bagi Ikan

e. Mineral
Mineral adalah bahan an organik yang dibutuhkan oleh ikan untuk pertumbuhan jeringan tubuh, proses metabolismo dan mempertahankan keseimbangan osmosis. Mineral yang penting untuk pembentukan tulang gigi dan sisik hádala kalsium, fosfor, fluorine, magnesium, besi, tembaga, kobalt, natrium, kalium, klor, boron, aluminium, seng, arsen dll.  Makanan alami biasanya telah  cukup mengandung mineral, bahkan beberapa dapat diserap langsung dari dalam air. Namur pada umunya, mineral-mineral itu didapatkan dari makanan. Oleh karena itu, beberapa macam mineral yang penting perlu kita tambahkan pada proses pembuatan pakan.
Selain kandungan gizi, ada beberapa bahan tambahan dalam meramu pakan buatan. bahan-bahan ini cukup sedikit saja, diantaranya : antioksidan, perekat dan pelezat. Sebagai antioksidan atau zat anti tengik dapat ditambahkan fenol, vitamin E, vitamin C, etoksikuin, BHT, BHA dan lain-lain dengan pemnggunaan 150 -200 ppm. Beberapa bahan dapat berfungsi sebagai perekat seperti agar-agar gelatin,  kanji, tepung terigu dan tepung sagu, dengan pemakaian maksimal 10% bahan  perekat ini menjadi penting pada pembuatan pakan udang. Sebab pakan udang harus mempunyai ketahanan yang tinggi, agar tidak cepat hancur dalam air. Sebagai pelezat, pada umumnya diberi garam dapur sebanyak 2%.. Untuk pakan ikan  bandeng bahan perekat  diberikan sekitar  5%,.

Sumber :
Sutikno, Erik. 2011. Pembuatan Pakan Buatan Ikan Bandeng. Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan. Pusat Penyuluhan KP-BPSDMKP. Jakarta

Senin, 18 September 2017

Membuat Unagi kabayaki (Sidat Panggang)

Media Penyuluhan Perikanan - Dalam proses pengasapan panas ikan yang akan diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap. Proses pengasapan panas juga sering disebut proses pemanggangan ikan. Pengasapan panas lebih dirancang untuk meningkatkan aroma melalui asap itu sendiri, dibandingkan untuk pengawetan ikan akibat asap. Pengasapan panas menggunakan suhu yang cukup yaitu 80 -90 oC. Karena suhu yang tinggi, daging ikan menjadi masak dan tidak perlu diolah terlebih dahulu sebelum disantap. Pengasapan panas pada prinsipnya merupakan usaha penanganan ikan secara perlahan. Pada pengasapan panas terjadi penyerapan asap, ikan cepat menjadi matang tetapi kadar air di dalam daging masih tinggi sehingga tidak tahan lama.

Masakan yang dikenal dengan istilah unagi adalah sajian sidat panggang yang menjadi favorit di Jepang. Bukan hanya karena rasanya yang enak, tapi juga masakan ini dipercaya mampu membangkitkan vitalitas. Orang Jepang memakannya biasanya pada musim panas (akhir bulan Juli) agar memberikan kekuatan dan vitalitas hingga akhir tahun. Unagi termasuk makanan yang paling mahal di restoran-restoran Jepang dan hanya disuguhkan bagi orang-orang penting.

Sidat tanpa tulang diolah menjadi unagi-no-kabayaki (sidat panggang) yang diberi saus manis kabayaki (seperti teriyaki). Masyarakat Jepang bagian timur dan bagian barat memiliki cara yang berbeda dalam mengolah sidat. Di Jepang bagian timur, sidat dipanggang, direbus dan kemudian dipanggang lagi sebelum dimakan, sehingga rasanya menjadi lebih lunak. Berbeda dengan di Jepang barat, sidat langsung dipanggang dan dimakan.

Sebelum dipanggang, ikan sidat dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan pisau tajam ikan sidat dibelah menjadi dua bagian, diangkat isi perut dan juga ttulang/duri ikan sidat jadi yang tersisa adalah benar-benar dagingnya saja tapi duri sedikitpun. Untuk bagian kepala biasanya juga dibuang.
Setelah ikan sidat dibelah dan dibersihkan, ikan sidat siap dipanggang dengan ditambah kecap spesial khas Jepang atau juga bisa diberi saus yang terutama dibuat dari campuran kecap asin (5 bagian), mirin (sake manis 5 bagian), gula pasir, dan sake. Selesai dipanggang pertama kemudian di-steam agar daging ikan sidat ini menjadi empuk dan bumbu bisa meresap sampai kedalam daging.

Selesai di-steam ikan sidat dipanggang lagi untuk kedua kalinya, tujuannya adalah untuk menguatkan rasa panggangnya, sewaktu pemanggangan kedua kalinya ikan sidat terus menerus dilumasi dengan kecap khas Jepang agar rasa tidak berubah.

Sumber :
Napitupulu, J. Romauli dan Heni Budi, 2011. Pengolahan Ikan Sidat (Anguilla, sp). Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan No. 10/TPH/BPSDMKP/2011. Pusat Penyuluhan KP-BPSDMKP. Jakarta
Senin, 28 Agustus 2017

Mengenal Ikan Sidat

Media Penyuluhan Perikanan - Ikan merupakan sumber protein yang lebih baik dibanding hewan ternak karena rendahnya kandungan/kadar kolesterol dan relatif lebih murah. Sidat merupakan salah satu jenis ikan yang potensial untuk dikembangkan. Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai 'Belut Bertelinga' karena keberadaan sirip dadanya menyerupai daun telinga. Sidat dikenal pula dengan nama lain moa, lubang, dan uling (Jawa Barat); sedangkan di Jawa Tengah menyebutnya dengan nama pelus.

Ikan sidat, Anguilla spp merupakan salah satu jenis ikan yang laku di pasar internasional (Jepang, Hongkong, Belanda, Jerman, Italia dan beberapa negara lain), dengan demikian ikan ini memiliki potensi sebagai komoditas ekspor. Di Indonesia, sidat banyak ditemukan di daerah-daerah yang berbatasan dengan laut dalam seperti pantai selatan Pulau Jawa, pantai barat Sumatera, pantai timur Kalimantan, pantai Sulawesi, pantai kepulauan Maluku dan Irian Barat. Tidak seperti halnya di negara lain (Jepang, dan negara-negara Eropa), di Indonesia sumberdaya sidat belum banyak dimanfaatkan, padahal ikan liar ini baik dalam ukuran benih maupun ukuran konsumsi jumlahnya cukup melimpah.

Tingkat pemanfaatan sidat secara lokal (dalam negeri) masih sangat rendah, akibat belum banyak dikenalnya ikan ini, sehingga kebanyakan penduduk Indonesia belum familiar untuk mengkonsumsi sidat. Demikian pula pemanfaatan sidat untuk tujuan ekspor masih sangat terbatas. Agar sumberdaya sidat yang keberadaannya cukup melimpah ini dapat dimanfaatkan secara optimal, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis yang diawali dengan mengenali daerah yang memiliki potensi sumberdaya sidat (benih dan ukuran konsumsi) dilanjutkan dengan upaya pemanfaatannya baik untuk konsumsi lokal maupun untuk tujuan ekspor.



Dalam ilmu taksonomi hewan, menurut Nelson (1994) ikan sidat diklasifikasikan sebagai berikut:
  • Filum          : Chordata
  • Kelas         : Actinopterygii
  • Subkelas    : Neopterygii
  • Division      : Teleostei (Ikan bertulang belakang)
  • Ordo          : Anguilliformes (Sidat)
  • Famili         : Anguillidae
  • Genus        : Anguilla
  • Species      : Anguilla spp.
Berbeda dengan belut, sidat memiliki sirip dada, sirip punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sirip punggung dan sirip perut memanjang ke belakang dan menyatu dengan sirip ekor. Sangat menonjol terlihat adanya sirip dada sepasang di kiri dan di kanan yang terletak di belakang kepala sehingga orang menduga sirip itu adalah ‘daun bertelinga’ sehingga dinamakan pula ‘belut bertelinga’.

Tubuh sidat bersisik kecil-kecil membujur, berkumpul dalam kumpulan-kumpulan kecil yang masing-masing kumpulan-kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan seperti ular. Warna tubuh abu-abu gelap di punggung, di bagian dada/perut berwarna keputihan.

Panjang tubuh ikan sidat bervariasi tergantung jenisnya yaitu antara 50-125 cm. Ketiga siripnya yang meliputi sirip punggung, sirip dubur dan sirip ekor menyatu. Selain itu terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral. Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat dilihat antara lain dari perbandingan antara panjang preanal (sebelum sirip dubur) dan predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang atas, bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.

Sidat termasuk ikan karnivora (pemakan daging). Sama halnya dengan belut sawah (Monoterus albus/Fluta alba), lele (Clarias batracus), dan gabus (Ophiocephalus striatus). Di alam aslinya, sidat memangsa ikan, kodok, udang, dan juga sesama sidat (kanibalisme). Kanibalisme akan terjadi apabila populasi sidat dalam satu koloni sangat besar, tetapi volume pakan kurang.

Siklus Hidup Sidat

Sidat merupakan ikan, berbentuk panjang bertulang tipis ordo Anguilliformes. Karena nelayan dahulu tidak pernah mengetahui anakan sidat, siklus hidup sidat adalah misteri untuk jangka waktu yang sangat panjang dalam sejarah ilmiah perikanan. Sidat tumbuh besar di perairan tawar, setelah dewasa kembali ke laut untuk berpijah.

Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar, sidat dewasa yang lebih dikenal dengan yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) yang akan bermigrasi ke laut untuk memijah.

Pada stadium larva, sidat hidup di laut. Bentuknya seperti daun lebar, tembus cahaya, dan dikenal dengan sebutan leptocephalus. Larva ini hidup terapung-apung di tengah samudera. Leptocephalus hidup sebagai plankton terbawa arus samudera mendekati daerah pantai. Pada stadium elver, sidat banyak ditemukan di pantai atau muara sungai. Panjang tubuh 5-7 cm, tembus cahaya. Burayak (anak ikan/impun) akan hidup di air payau sampai umur satu tahun. Ketika itulah sidat akan berenang melawan arus menuju hulu sungai.

Setelah bertemu dengan perairan yang dalam dan luas, misalnya lubuk, bendungan, rawa atau danau, sidat akan menetap dan tumbuh menjadi ikan buas dan liar. Impun dewasa inilah yang selanjutnya dikenal sebagai sidat. Ketika itulah dia akan kembali ke laut lepas untuk kawin dan berkembangbiak. Setelah berpijah, induk akan mati. Pola hidup sidat bertolakbelakang dengan ikan salmon (Salmonidae). Salmon justru hidup di laut, tetapi kawin dan berkembangbiak di air tawar di pedalaman. Perilaku catadromous, tidak hanya terjadi pada sidat, melainkan juga udang galah.

Jenis-Jenis Ikan Sidat


Sidat (eels) adalah ikan dari famili Anguillidae. Ada sekitar 16 sd. 20 spesies sidat, yang kesemuanya merupakan genus Anguilla. Di antaranya adalah Sidat Eropa (Anguilla anguilla); Sidat Jepang (Anguilla japonica), Sidat Amerika (Anguilla rostrata); Sidat sirip pendek (Anguilla australis), Sidat putih (Anguilla marmorata), Sidat loreng (Anguilla nebulosa), Sidat loreng India (Anguilla bengalensis bengalensis), Sidat loreng Afrika (Anguilla bengalensis labiata), Sidat sirip pendek Indonesia (Anguilla bicolor bicolor), sidat sirip pendek india (Anguilla bicolor pacifica), sidat sirip panjang Indonesia (Anguilla malgumora), sidat sirip panjang Sulawesi (Anguilla celebensis), sidat sirip panjang Selandia Baru (Anguilla dieffenbachii), sidat sirip panjang dataran tinggi (Anguilla interioris), sidat sirip panjang Polynesia (Anguilla megastoma), sidat sirip panjang Afrika (Anguilla mossambica), sidat sirip pendek pasifik atau sidat pasifik selatan (Anguilla obscura), sidat bintik sirip panjang atau sidat sirip panjang Australia (Anguilla reinhardtii)

Kandungan Gizi Sidat

Komposisi kimia hasil perikanan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam diantaranya adalah penyakit dan keturunan (jenis/gen). Sedangkan faktor luar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik biotik maupun abiotik. Stadia fisiologis juga akan mempengaruhi komposisi. Pada stadia juvenile, remaja, matang gonad, dan pascamemijah komposisi kimia akan disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis dari hasil perikanan.

]enis makanan yang tersedia juga mempengaruhi komposisi kimia ikan, sebagai contoh hasil penelitian yang memberikan perlakuan pakan tambahan dengan karbohidrat pada ikan Anguilla anguilla memperoleh komposisi sebagai berikut: air 57,21%, protein 15,89%, lemak 25,61%, dan abu 2,12%. Sebaliknya hasil penelitian terhadap ikan sidat (Anguilla bicolor) yang diberi pakan protein dengan kadar bervariasi yang berkisar antara 40,25-55,21 % menghasilkan protein 18,04-20,32%; air 67,79-70,73%; lemak 7,23-8,01 %; abu 2,69- 3,20% dan serat kasar 0,73-0,77%. Semakin tinggi kadar protein pakan yang diberikan semakin tinggi pula kadar protein daging ikan yang terukur.

Ikan sidat yang ditangkap dari alam khususnya Anguilla bicolor termasuk ikan berlemak rendah dan sedang dengan kadar protein yang tinggi. Penelitian Saleh (1993) menghasilkan protein berkisar 17,5- 21,5%, air 71,5-75,9%, lemak 3,3-9,5% dan abu 1,0-1,6%.

Sumber :
Napitupulu, J. Romauli dan Heni Budi, 2011. Pengolahan Ikan Sidat (Anguilla, sp). Materi Penyuluhan Kelautan dan Perikanan No. 10/TPH/BPSDMKP/2011. Pusat Penyuluhan KP-BPSDMKP. Jakarta

Cara Unik Ikan Lele Mencari Mangsa: 'Kumis' Mendeteksi Perubahan Kecil Dalam pH

Media Penyuluhan Perikanan - Hewan menggabungkan beberapa metode yang unik untuk mendeteksi mangsa, tetapi untuk lele laut Jepang, Plotosus japonicus, hal tersebut akan terasa sulit mengingat air di lingkungannya yang keruh dan gelap.

John Caprio, George C. Kent Profesor of Biological Sciences di LSU, dan rekannya dari Kagoshima University Jepang telah mengidentifikasi bahwa ikan lele ini dilengkapi dengan sensor yang dapat menemukan mangsanya dengan mendeteksi perubahan kecil kadar pH air.

Sebuah paper, " Marine teleost locates live prey through pH sensing" merinci pekerjaan Caprio dan rekan risetnya, diterbitkan dalam jurnal Science pada tanggal 6 Juni ini merupakan laporan pertama dari ikan apa saja yang menggunakan pH untuk menemukan mangsanya.

"Apa yang membuat hal ini begitu menarik adalah bahwa penemuan itu tak terduga, kebetulan," kata Caprio.

Penelitian ini dimulai pada tahun 1984 ketika Caprio, spesialis dalam sistem rasa dan bau vertebrata perairan, penyelidikan kolaboratif dimulai di Kagoshima University memeriksa fisiologi sistem rasa lele laut Jepang. Sambil melakukan rekaman listrik dari kumis ikan ia melihat bahwa setiap serabut saraf sensorik baru akan menanggapi amplitudo yang jauh lebih besar daripada yang lain.
Cara Unik Catfish Mencari Mangsa: 'Kumis' Mendeteksi Perubahan Kecil Dalam pH
 
"Segera saya tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang saraf itu, tapi saya bekerja pada sebuah proyek yang berbeda didanai oleh National Science Foundation dan harus menempatkan keingintahuan saya di bagian belakang," kata Caprio.

Pada tahun 1986, keingintahuan Caprio semakin besar, dan ia meminta teman-temannya di Jepang untuk mengirimkan dia beberapa ikan lele sehingga ia bisa memeriksa apa yang memicu respon yang begitu besar dalam ikan ini.

"Saya menduga respon terjadi karena perubahan pH yang disebabkan oleh beberapa rangsangan," katanya. "Itu jelas bahwa ada serabut saraf sensorik di ikan ini yang menanggapi fenomena penurunan pH air laut, namun, apa yang saya tidak tahu adalah apa fungsinya."

Caprio mengajukan penyelidikannya lagi, seperti kegiatan penelitian lainnya terdahulu, dan dilanjutkan analisis pada tahun 2005 dengan dukungan dari National Institutes of Health dan LSU. Caprio ke Jepang enam kali antara tahun 2005 dan 2013, menetap setidaknya satu bulan setiap kali kunjungan. Selama waktu ini, ia memusatkan perhatiannya pada sistem saraf ikan, sementara rekannya melakukan percobaan perilaku.

Untuk percobaan fisiologis, ikan yang dilengkapi dengan elektroda yang memungkinkan pencatatan respon ikan terhadap air dari berbagai pH. Selama kurun waktu ini mereka menemukan bahwa fungsi sensitivitas kumis ikan terhadap perubahan kecil kadar pH air adalah karena respirasi cacing laut kecil, polychaetes, mangsa utama dari lele laut.

Cacing laut hidup di tabung atau liang di lumpur. Sebagai cacing yang bernapas, mereka melepaskan sejumlah kecil karbon dioksida dan asam, menghasilkan sedikit penurunan pH air laut yang dideteksi oleh lele laut yang bersifat nokturnal.

"Ikan ini seperti pH meter berjalan. Mereka sama baiknya dengan pH meter komersial di laboratorium," kata Caprio.

Untuk percobaan perilaku, para peneliti menempatkan ikan di akuarium diisi dengan air laut, bersama dengan cacing laut, yang ditempatkan dalam tabung kaca dalam substrat karang akuarium. Para peneliti menggunakan fotografi inframerah untuk menunjukkan bahwa ikan nokturnal aktif menghabiskan lebih banyak waktu di sekitar cacing daripada di lokasi lain di dalam akuarium. Para peneliti juga menegaskan bahwa lele tertarik ke lokasi di mana akuarium air laut dengan kadar pH rendah yang sedang dipancarkan dari tabung kecil bahkan ketika tidak ada cacing yang hadir. Selain itu, ikan ini menjadi sangat aktif, mencari makanan dan bahkan menggigit berulang kali pada ujung tabung.

Penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas lele tertinggi dalam air laut alami pH 8.2, namun menurun drastis pada pH kurang dari 8. Temuan ini menyiratkan bahwa kemampuan menentukan lokasi makanan oleh lele laut Jepang dapat dipengaruhi oleh keasaman laut.

Studi menunjukkan bahwa sebelum revolusi industri, tingkat karbon dioksida sekitar 280 ppm. Hari ini, adalah 390 ppm, dan ilmuwan memprediksi bahwa kadar tersebut bisa meningkat menjadi 900 ppm pada tahun 2100. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration, lautan menyerap sekitar seperempat dari karbon dioksida yang dilepaskan di atmosfer setiap tahun, sehingga meningkatkan keasaman laut.

"Setelah pH laut turun jauh di bawah 8, shell memproduksi invertebrata tidak bisa lagi menghasilkan cangkang mereka," kata Caprio. "Pekerjaan kami mungkin bisa menjadi indikator kemungkinan efek keasaman laut pada vertebrata laut. Jika proses pengasaman laut berlanjut pada tingkat yang sama, kita tidak tahu apakah kehidupan laut akan dapat beradaptasi dengan perubahan yang cepat seperti pH. Hal ini dimungkinkan bahwa sensor bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut, tapi kami tidak yakin bahwa ini akan terjadi. Sampai saat ini, apa yang kita tahu adalah bahwa sensor ini bekerja secara optimal di sekitar pH 8,2, yaitu air laut normal. Jika kadar pH laut jauh di bawah 8, sejumlah peristiwa merugikan mungkin terjadi. "

Sumber :
Louisiana State University. (2014, June 5). Unique way that catfish locate prey: 'Whiskers' detect slight changes in pH. ScienceDaily. Retrieved September 5, 2014 from www.sciencedaily.com/releases/2014/06/140605183613.htm
Kamis, 24 Agustus 2017

Dampak Buruk Perubahan Iklim Menyebabkan Ikan Kehilangan Temannya

Media Penyuluhan Perikanan - Seperti halnya manusia, ikan cenderung berkelompok dengan individu yang akrab dengannya, bukan “orang” asing. Hal ini memberikan banyak manfaat seperti pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang bisa lebih tinggi, pertahanan yang lebih besar terhadap predator dan pembelajaran sosial yang lebih cepat. Namun, tingginya kadar karbon dioksida, seperti yang diakibatkan oleh perubahan iklim, dapat menghalangi kemampuan ikan untuk mengenali satu sama lainnya dan menghalangi kemampuannya untuk membentuk kelompok dengan individu akrab yang akrab dengannya.

Para ilmuwan di ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies di James Cook University, Australia, telah mempelajari efek dari karbon dioksida pada perilaku  ikan Chromis viridis tropis. Pemimpin penelitian ini Miss Lauren Nadler menemukan bahwa ikan remaja biasanya memerlukan tiga minggu untuk mengenali teman akrabnya, namun tingkat karbon dioksida yang meningkat secara signifikan dapat mengganggu kemampuan ini.

Model perubahan iklim memperkirakan bahwa tingkat karbon dioksida dan keasaman laut akan dua kali lipat lebih besar daripada sebelum akhir abad ini. Untuk menyelidiki apakah hal ini akan mempengaruhi pengakuan sosial ikan, percobaan dilakukan dibawah pengaruh kadar karbon dioksida, mirip dengan yang diproyeksikan untuk 2100 pada model yang dihasilkan oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Individu ikan kemudian diberi "tes pilihan" di mana mereka ditempatkan di antara dua “sekolah” – yang satu terdiri atas ikan yang telah akrab dan yang lainnya terdiri dari ikan yang asing. Sementara ikan disimpan di bawah kondisi normal secara konsisten memilih “sekolah” dengan ikan yang telah akrab, ikan yang dipelihara dalam kondisi CO2 yang tinggi tidak menunjukkan preferensi baik terhadap “sekolah” dengan ikan asing atau “sekolah” dengan ikan yang telah akrab.

Dampak Buruk Perubahan Iklim Menyebabkan Ikan Kehilangan Temannya
Diperkirakan bahwa karbon dioksida mengganggu fungsi dari neuroreceptors dalam otak ikan. Tingkat karbon dioksida tinggi mengubah konsentrasi ion (atom bermuatan listrik dan molekul) dalam darah ikan ', mengubah cara kerja neuroreceptors. Ini mengganggu indra dasar, seperti penglihatan dan penciuman, yang penting bagi eksistensi ikan.

Hasil ini dapat memiliki implikasi serius bagi ikan tropis, yang habitatnya sudah terancam oleh perubahan iklim. "Keakraban adalah sifat penting untuk pertahanan, terutama di lingkungan yang kaya predator seperti terumbu karang," kata Nadler.

Sumber :
Society for Experimental Biology. (2014, June 30). Climate change could stop fish finding their friends. ScienceDaily. Retrieved August 4, 2014 from www.sciencedaily.com/releases/2014/06/140630193411.htm
Rabu, 23 Agustus 2017

Memikirkan Kembali Tentang Budidaya Ikan Kaitannya Dengan Kesehatan dan Resiko Lingkungan

Media Penyuluhan Perikanan - Kebanyakan instansi pemerintah saat ini merekomendasikan untuk mengkonsumsi lebih banyak seafood (produk perikanan) yang bermanfaat bagi kesehatan, analisis baru yang dipimpin oleh para peneliti dari Johns Hopkins Center for a Livable Future mendesak profesional kesehatan, medis, dan masyarakat untuk mempertimbangkan dampak lingkungan dan kesehatan dari sumber seafood/ikan, khususnya budidaya ikan, kerang dan krustasea. Makalah ini muncul di edisi Juli 2014 Journal of Current Environmental Health Reports.

Hampir setengah dari semua seafood/ikan yang dikonsumsi di seluruh dunia berasal dari sektor budidaya. Meningkatkan konsumsi seafood/ikan telah diusulkan sebagai bagian dari strategi untuk memerangi epidemi global tentang obesitas dan diabetes. Selain itu, US Food and Drug Administration dan US Environmental Protection Agency sekarang merekomendasikan wanita hamil, ibu menyusui dan anak-anak untuk meningkatkan konsumsi seafood/ikan yang rendah merkuri 2-3 porsi per minggu.

"Sementara peningkatan konsumsi seafood/ikan memberikan banyak manfaat kesehatan, kita tidak bisa mengabaikan tanda-tanda peringatan yang jelas bahwa kita dengan cepat mendekati batas ikan liar yang bisa ditangkap," kata David C. Love, PhD, MSPH, penulis senior dari studi dan asisten ilmuwan dengan Johns Hopkins Center for a Livable Future di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. "Untuk mengisi kesenjangan ini, budidaya menggantikan perikanan tangkap sebagai sumber utama seafood/ikan yang dapat dimakan. Banyak metode budidaya yang aman dan berkelanjutan. Namun, beberapa metode menimbulkan resiko yang tidak perlu untuk kesehatan masyarakat dan menguras sumber daya alam."

Memikirkan Kembali Tentang Budidaya Ikan Kaitannya Dengan Kesehatan dan Resiko Lingkungan
Penangkapan ikan berlebihan telah menghabiskan stok ikan di alam dan merusak sumber daya laut, dan budidaya ikan telah hadir untuk mengisi beberapa kesenjangan. Tapi budidaya ikan ini bukan tanpa resiko. Ini sering mengandung kontaminan yang sama, seperti logam berat, yang ditemukan di alam. Sementara itu, ikan diberi pakan dengan obat antibiotik untuk menangkal penyakit atau diperlakukan dengan bahan kimia, yang dapat mengendap di air.

Budidaya berkelanjutan berkontribusi terhadap pencegahan pengurangan stok ikan di alam.

Di sisi positifnya, operasi budidaya ikan dapat memberikan pekerjaan di masyarakat pesisir di mana mereka sangat bergantung pada menangkap ikan sebagai mata pencaharian mereka.

Peneliti merekomendasikan, menerapkan, dan memperluas pendekatan One Health, sebuah model interdisipliner yang menyatukan manusia, hewan, dan layanan kesehatan lingkungan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan budidaya. One Health secara historis difokuskan pada penyakit menular yang melewati antara hewan dan manusia, namun para peneliti mengatakan itu bisa menjembatani kesenjangan antara keinginan untuk memiliki cukup seafood/ikan untuk memenuhi permintaan konsumen dan dampak budidaya terhadap lingkungan. Rekomendasi untuk meningkatkan konsumsi seafood/ikan harus diimbangi dengan resiko kerusakan lebih lanjut sektor perikanan dan resiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan dari berbagai metode budidaya, kata mereka.

"Operasi budidaya yang ideal yang  harus didukung konsumen adalah yang memproduksi seafood/ikan yang bergizi, memberikan kualitas hidup yang tinggi bagi pekerja, dan melestarikan sumber daya untuk generasi mendatang," kata Love. "Penelitian ini mempromosikan pendekatan multi-stakeholder untuk mereformasi dan mengembangkan industri akuakultur yang beroperasi secara berkelanjutan dan memberikan kontribusi untuk diet manusia yang mempromosikan kesehatan."

"Perspektif Kesehatan Masyarakat pada Akuakultur" ditulis oleh Juan G. Gomez, Jillian P. Fry, Marcia Erazo dan David C. Love.

Penelitian ini didukung oleh Johns Hopkins Center untuk Masa Depan yang Layak Huni dengan dana dari Grace Communications Foundation.


Sumber :
Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. (2014, July 14). Rethinking fish farming to offset its public health and environmental risks. ScienceDaily. Retrieved September 7, 2014 from www.sciencedaily.com/releases/2014/07/140714152324.htm
Selasa, 22 Agustus 2017

Polusi Suara Berdampak Pada Spesies Ikan Secara Berbeda

Media Penyuluhan Perikanan - Gangguan akustik memiliki efek yang berbeda pada spesies ikan yang berbeda, menurut sebuah studi baru dari Universitas Bristol dan Exeter yang menguji perilaku ikan anti-predator.

Tiga ikan spined stickleback merespons cepat terhadap predator camar terbang ketika terkena gangguan tambahan, sedangkan tidak ada efek yang diamati pada ikan kecil Eropa.

Polusi Suara Berdampak Pada Spesies Ikan Secara Berbeda
Penulis utama Dr Irene Voellmy of Bristol School of Biological Sciences mengatakan: "Tingkat kebisingan di banyak lingkungan perairan telah meningkat secara substansial selama beberapa dekade terakhir, ini dikarenakan peningkatan lalu lintas mengirimkan potensi dampak kebisingan pada ekosistem perairan“

Tim, yang termasuk Dr Julia Purser, Dr Steve Simpson dan Dr Andrew Radford, menggunakan percobaan laboratorium yang terkendali untuk menyelidiki bagaimana gangguan akustik, yang dihasilkan oleh kebisingan putaran kapal, mengubah perilaku anti-predator ikan kecil dan stickleback.

Dr Radford memperingatkan: "Perilaku anti-predator yang tepat sangat penting untuk kelangsungan hidup, efek merugikan dari kebisingan dapat menyebabkan konsekuensi kebugaran."

Studi saat ini menunjukkan spesies-spesifik berbeda dalam menanggapi kebisingan, hal ini didorong oleh berbagai mekanisme perilaku dan fisiologis yang mendasari.

Dr Simpson menambahkan "Jika kita ingin efektif mengelola kebisingan di lingkungan laut, kita selanjutnya perlu menilai skala spasial dimana individu hewan dan populasi yang terpengaruh Ini berarti mengambil percobaan seperti ini untuk lingkungan lepas pantai dekat sumber kebisingan dunia nyata. "

Sumber :
University of Bristol. (2014, July 24). Noise pollution impacts fish species differently. ScienceDaily. Retrieved September 7, 2014 from www.sciencedaily.com/releases/2014/07/140724141614.htm